Rabu, 29 Mei 2013

Gizi untuk Gagal Ginjal Kronik


1.1.  CHRONIC KIDNEY DISEASE
1.1.1.    Pengertian
Gagal ginjal kronis merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Wilson L, 1995; Harnawatiaj, 2008). Gagal ginjal kronis terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal.
Menurut Yap (2007), Chronic Kidney Disease merupakan spektrum proses patofisiologis yang berhubungan dengan abnormalnya fungsi ginjal dan penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) atau Laju Filtrasi Glomerular (LFG) secara progresif. Perkembangan gagal ginjal dapat mendatangkan komplikasi seperti anemia, osteodistrofi ginjal dan kegagalan pertumbuhan. Seorang pasien dikatakan menderita CKD jika terdapat salah satu dari kriteria berikut (Yap, 2007):
1. Kerusakan ginjal selama 3 bulan karena kelainan struktural atau fungsional ginjal dengan atau tanpa GFR menurun, dimanifestasikan oleh 1 atau lebih hal berikut:
a. Kelainan pada komposisi darah atau
urine
b. Kelainan pada imaging test
c. Kelainan pada biopsi ginjal
2. GFR <60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa tanda-tanda kerusakan ginjal lainnya.

1.1.2.    Etiologi
Etiologi gagal ginjal kronis pada masa kanak-kanak berkorelasi dengan umur penderita pada saat pertama kalinya gagal ginjal tersebut terdeteksi. Gagal ginjal kronis pada anak di bawah usia 5 tahun biasanya akibat kelainan anatomis (hipoplasia, dysplasia, obstruksi, malformasi), sedangkan setelah usia 5 tahun yang dominan adalah penyakit glomerulus didapat (glomerulonefritis, sindrom hemolitik-uremik) atau gangguan herediter (sindrom Alport, penyakit kistik). (Kliegman, 2007)
Selain itu juga dapat disebabkan oleh gangguan metabolisme yang akhirnya mengakibatkan gagal ginjal (cystinosis atau methylmalonic aciduria), atau kondisi dapatan dan penyakit (infeksi ginjal tidak diobati, fisik trauma ginjal, paparan nefrotoksik kimia/obat, anemia hemolitik, sering karena E. coli 0157, atau nefritis glomerulus). (Krause Textbook, 2008)

1.1.3.    Klasifikasi
Gagal ginjal kronis diklasifikasikan menurut pedoman dari National Kidney Foundation [Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (KDOQI)]. Pengklasifikasian ini dideskripsikan berdasarkan estimasi GFR.
Tabel 3.1 Klasifikasi Stadium Penyakit Ginjal Kronis (KDOQI, 2001)
Stadium
Deskripsi
GFR*
1
Kerusakan ginjal
>90
2
Penurunan fungsi ginjal ringan
60 - 89
3
Penurunan fungsi ginjal sedang
30 – 59
4
Penurunan fungsi ginjal berat
15 – 29
5
Gagal ginjal
< 15**
* Glomerulus Filtration Rate = Laju Filtrasi Glomerular/LFG (ml/menit/1,73 m2)
** Terapi pengganti (dialisis, transplantasi ginjal

1.1.4.    Patofisiologi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) patofisiologi penyakit ginjal kronis pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal juga yang dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronis adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Gambar 3.1 Mekanisme Progresi Kerusakan Ginjal
Ada enam mekanisme yang diduga menyatukan ini jalur akhir yang umum (Gambar 3.1). Jika cedera dimulai pada glomeruli, langkah-langkah berurutan: (1) Cedera glomerulus persistent menghasilkan hipertensi lokal di jumbai kapiler, meningkatkan GFR nefron-tunggal, dan menyebabkan kebocoran protein ke dalam cairan tubulus. (2) Proteinuria glomerular yang signifikan, disertai dengan peningkatan produksi angiotensin II lokal, memfasilitasi (3) Sitokain terakumulasi di interstisial. (4) Tampilan awal neutrofil interstisial dengan cepat digantikan oleh makrofag dan limfosit T yang terkumpul membentuk respon imun nephritogenic sehingga terjadi nefritis interstisial. (5) Beberapa epitel tubular menanggapi peradangan ini dengan disaggregating membran basal, epitel-mesenchymal bertransisi membentuk fibroblas interstisial baru. (6) Akhirnya, fibroblas berupa matriks kolagen mengganggu kapiler yang berdekatan dan nefron tubular, akhirnya meninggalkan bekas luka acellular. (Harrison Textbook, 2008)
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronis, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.  Kemudian secara perlahan tapi pasti,  akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan  berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikataan sampai pada stadium gagal ginjal.

1.1.5.    Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronis menurut Suparman (1990) terdiri atas :
a.    Hematologik
      Anemia normokrom, gangguan fungsi trombosit, trombositopenia, gangguan lekosit.
b.    Gastrointestinal
1)    Anoreksia, nausea, dan vomitus, yang berhubungan dengan uremia (gejala akibat tertimbunnya zat-zat toksik dalam tubuh).
2)    Faktor uremia disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri dimulut menjadi amonia sehingga napas berbau ammonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
3)    Gastritis erosif, Ulkus peptikum, dan colitis uremik.

c.    Syaraf dan otot
1)    Miopati
2)    Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot ekstrimitas proksimal.
3)    Ensefalopati metabolik
      Lemah, tidak biasa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
4)     Burning feet syndrome
      Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama ditelapak kaki.
5)    Restless leg syndrome
Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan.
d.    Kulit
1)    Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom. Gatal-gatal dengan eksoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium dipori-pori kulit.
2)    Echymosis akibat gangguan hematologis.
3)    Urea frost, akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat.
4)    Bekas garukan karena gatal.
e.    Kardiovaskuler
1)    Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau akibat peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensi-aldosteron.
2)    Nyeri dada dan sesak nafas, akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
3)    Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit dan kalsifikasi metastastatik.
4)    Edema akibat penimbunan cairan.
f.     Endokrin
Gangguan toleransi glukosa, gangguan metabolisme lemak, gangguan seksual, libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki, gangguan metabolisme vitamin D.
g.    Gangguan Sistem Lain
1)    Tulang : Osteodistrofi renal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa, osteosklerosis, dan kalsifikasi metastatik.
2)    Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organik sebagai hasil metabolisme.
3)    Elektrolit : hiperfosfatermia, hiperkalemia, hipokalsemia.
h.    Pertumbuhan pada anak dengan CKD biasanya terhambat.
Pertumbuhan merupakan indikator yang paing sensitif untuk terapi GGK yang adekuat. Pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status pubertal, volume testes, dan lingkar lengan atas sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat dideteksi secara dini setiap gangguan kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pertumbuhan adalah multifaktorial, seperti tercantum dalam tabel dibawah ini. (Nelson Textbook, 2000)



Tabel 3.2 Faktor-Faktor Penyebab Pertumbuhan Terhambat pada CKD

Anemia pada Gagal Ginjal Kronis
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi eritropoietin yang tidak adekuat.  Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara luas untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat. (Nelson Textbook, 2000)
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGK dapat mempertahankan kadar hemoglobin tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik, suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat  diberikan  eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali  seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl. (Nelson Textbook, 2000)
Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi yang adekuat. Anak-anak dengan pra-GGK biasanya mendapatkan suplemen besi peroral, sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan suplemen besi secara intravena. (Nelson Textbook, 2000)

Hipertensi pada CKD
Hipertensi dapat berasal dari penyakit  ginjal primer, misalnya nefropati refluks, penyakit ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi natrium dan air. Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi  itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan terapi antihipertensi untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi, diberikan diuretik dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam. (Noer, 2005)



Tabel 3.3 Temuan Laboratorium (Harrison Textbook, 2008)
a Hampir semua kelainan yang ada pada daftar ini akan berubah dengan transplantasi ginjal yang sukses. Respon terhadap kelainan ini oleh hemodialisis atau terapi dialisis peritoneal lebih bervariasi. (I) menunjukkan suatu kelainan yang biasanya membaik dengan program optimal dan terapi dialisis terkait; (P) menunjukkan suatu kelainan yang cenderung menetap atau bahkan mengalami kemajuan, meskipun dengan program yang optimal, (D) menunjukkan kelainan yang berkembang hanya setelah inisiasi dialisis terapi.
b Meningkat dengan dialisis dan terapi eritropoietin.
Catatan: Lp (a), a. lipoprotein

1.2.     PENANGANAN MEDIS
1.2.1.    Hemodialisis
Hemodialisis membutuhkan akses perrnanent ke aliran darah melalui fistula yang diciptakan dengan operasi untuk menghubungkan arteri dan vena.. Cairan dialisis yang berisi elektrolit mirip dengan komposisi normal plasma. Limbah produk dan elektrolit bergerak secara difersi, ultrafiltrasi, dan osmosis dari darah ke dalam dialisat kemudian dibuang. Hemodialisis biasanya memerlukan waktu 3 sampai 5 jam tiga kali per minggu, tetapi terapi baru dapat mengubah waktu yang diperlukan. Pasien dapat melakukan dialisis setiap hari di rumah, biasanya prosesnya selama 1,5-2,5 jam, sedangkan beberapa  pasien menerima dialisis nokturnal tiga kali seminggu selama 8 jam. (Krause Textbook, 2008)

1.2.2.    Dialisis Peritoneal
Peritoneal dialisis (PD) memanfaatkan sifat semipermeabel membran peritoneum. Kateter ditanam di perut melalui pembedahan ke dalam rongga peritoneum. Cairan dialisat yang digunakan mengandung konsentrasi tinggi dekstrosa yang secara  difusi membawa limbah produk dari darah melalui membran peritoneum.
Dialisis Peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Ada 2 teknik yang digunakan yaitu CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) dan CCPD (Continuous Cyclical Peritoneal Dialysis).
Continuous Ambulatory Peritoneal Dyalisis (CAPD) mirip dengan standar peritoneal dialisis, bedanya adalah cairan dialisat dibiarkan dalam peritoneum dan dipertukarkan secara manual sehingga tidak memerlukan mesin hemodialisa. Pergantian cairan dialisis dilakukan empat sampai lima kali dalam 24 jam.Sedangkan dalam terapi CCPD, pertukaran dilakukan pada malam hari oleh mesin yang melakukan pertukaran. Pada siang hari ini pasien mungkin menyimpan cairan dialisat di rongga peritoneum  untuk waktu yang lama (disebut long dwell), bahkan mungkin sepanjang hari. (Krause Textbook, 2008)
1.2.3.    Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan pengobatan yang lebih disukai pada pasien dengan Gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal dari cadaver dan dari yang memiliki ikatan keluarga  sehingga hal ini dapat menjadi penghambat dari pilihan pengobatan pada pasien GGK. (Ningsih dkk, 2007)
1.2.4.    Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi
1)      Hipertensi à pembatasan natrium dan cairan serta melalui ultrafiltrasi bila penderita sedang menjalani hemodialisis.
2)      Hiperkalemia à pemberian glukosa dan insulin intravena yang akan memasukkan K+ ke dalam sel dengan pemberian kalsium glukonat 10% intravena dengan hati-hati.
3)      Anemia à diberikan recombinant human erytropoeitin/EPO sebagai injeksi subkutan tiga kali seminggu. Komplikasi pemberian EPO adalah hipertensi yang terjadi pada separuh pasien, selain EPO tindakan lain untuk meminimalkan kehilangan darah adalah memberikan vitamin dan transfusi darah.
4)      Pemberian obat secara hati-hati.

1.3.     PENATALAKSANAAN GIZI
1.3.1.    Evaluasi Pertumbuhan dan Status Gizi
Berikut ini adalah rekomendasi langkah yang dilakukan dalam penatalaksanaan gizi untuk anak dengan CKD berdasarkan pedoman KDOQI (2008):
·      Evaluasi status gizi dan pertumbuhan berbasis periode
·      Pertimbangkan beberapa parameter status gizi dan pertumbuhan :
o   Dietary asupan (dietary record repeated 24hr recall selama 3 hari)
o   PB/U atau TB/U (percentile atau SDS)
Menggunakan WHO Growth Standards untuk bayi baru lahir hingga 2 tahun
Menggunakan CDC growth reference chart untuk usia > 2 tahun
o   Estimasi berat kering dan BB/U (percentile atau SDS)
o   BMI menurtut usia tinggi (percentile atau SDS)
o   Lingkar kepala menurut usia (percentile atau SDS) hanya untuk usia ≤ 3 tahun
o   nPCR pada remaja yang menerima hemodialisis
·      Berdasar status gizi dan parameter pertumbuhan serta stadium CKD:
o   Lakukan assessment minimal dua kali lebih sering dibanding terhadap anak sehat pada usia yang sama
o   Evaluasi lebih sering dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan:
Poliuria adanya keterlambatan pertumbuhan, pengurangan atau IMT yang rendah, adanya komorbiditas yang mempengaruhi pertumbuhan atau asupan gizi, perubahan terbaru dalam status medis atau asupan makanan









Tabel 3.4 Parameter untuk Assessment Gizi Anak dengan CKD stage 2-5 dan Dialisis

1.3.2.    Penanganan Kegagalan Pertumbuhan pada Anak dengan CKD
·      Identifikasi dan tangani adanya defisiensi zat gizi dan gangguan metabolik pada anak dengan CKD dan berperawakan pendek (SDS ≤ 1,88 atau TB/U < 3rd percentile). Faktor-faktor yang berkontribusi pada lambatnya pertumbuhan :
o   Kurangnya asupan kalori-protein
o   Poliuria dan kondisi salt-wasting
o   Asidosis metabolik
o   Renal osteodystrophy
o   Resistance to hormones medating growth
·      Koreksi level bikarbonat serum minimal mendekati normal (22 mmol/L)
·      Pertimbangkan terapi rhGH pada anak dengan :
o   Perawakan pendek, dan
o   Berpotensi mengalami gagal tumbuh persisten lebih dari 3 bulan, di samping penanganan terhadap defisiensi zat gizi dan gangguan metabolik

1.3.3.    Kebutuhan Zat Gizi
a.    Energi
Kurang asupan energi sering terjadi pada anak dengan CKD karena penurunan nafsu makan dan adanya muntah. Menurunnya nafsu makan ini dapat disebabkan oleh rasa haus yang biasanya terjadi pada anak dengan poliuria, efek medikasi, pemilihan makanan berasa asin daripada makanan padat energi yang manis, akumulasi regulasi nafsu makan oleh pengaruh sitokain dan hormon, gastroesophageal reflux, gangguan motilitas gaster, dan penundaan pengosongan lambung. Sedangkan anak dengan asupan energi berlebih meningkatkan resiko komplikasi dalam periode panjang maupun pendek, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya overweight atau obesitas.
Rekomendasi :
·      Kebutuhan energi 100% TEE berdasarkan usia kronologis, penambahan berdasarkan aktivitas fisik dan ukuran tubuh (misalnya IMT)
·      Pertimbangkan dukungan suplementasi saat:
o   Asupan anak tidak memenuhi kebutuhan energi
o   Anak tidak mengalami kenaikan berat badan
Tabel 3.5 Kisararan Distribusi Makronutrien yang Disarankan

b.    Vitamin dan Trace Elements
Pasien CKD dengan terapi dialisis beresiko mengalami defisiensi vitamin dan mineral sebagai akibat dari metabolisme ginjal yang abnormal, kurangnya asupan/absorpsi gastrointestinal, dan kehilangan karena dialisis.
Pertimbangkan kecukupan pemberian tiamin (B1), ribovlavin (B2), niasin (B3), pantothenic acid (B5), pyridoxine (B6), biotin (B8), kobalamin (B12), asam askorbat (C), retinol (A), alfa tokoferol (E), vitamin K, asam folat, copper, dan zinc sesuai DRI (Dietary Reference Intake).
Disarankan untuk menyediakan suplementasi vitamni dan trace element untuk anak CKD stage 2-5 bila asupan makanan saja tidak memenuhi 100% DRI atau secara klinis terjadi defisiensi yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan kadarnya rendah dalam darah.
Pemberian suplementasi vitamni larut air disarankan untuk anak CKD dengan dialisis, kecuali pada anak dengan nafsu makan yang baik.

Tabel 3.6 Dietary Reference Intake: RDA dan AI

c.    Protein
Tanda terjadinya kurang asupan protein :
·      Kadar serum urea nitrogen rendah (abnormal)
·      Kecenderungan mengalami penurunan nPCR yang tidak diinginkan pada pasien remaja dengan terapi hemodialisis
·      Dokumentasi adanya rendahnya asupan protein menggunakan food record, food kuesioner, atau diet recall



Tabel 3.7 RDA Asupan Protein Anak dengan CKD Stage 3-5 dan Dialisis


d.    Kalsium
Kurangnya suplai kalsium dapat mengakibatkan penurunan mineralisasi tulang. Sedangkan kelebihan kalsium berhubungan dengan severe vascular morbidity dan kalsifikasi jaringan lunak.
Rekomendasi :
Total asupan oral dan/atau enteral kalsium adalah 100%-200% DRI menurut umur. Untuk menghindari akumulasi kalsium, perlu ada reduksi total pemberian kalsium baik dari makanan oral/enteral atau phosphate binders bagi anak oligoanuria dengan dialisis.
Tabel 3.8 Rekomendasi Asupan Kalsium Anak CKD stage 2-5 dan Dialisis
Cara untuk meningkatkan asupan dan absorpsi kalsium :
·      Meningkatkan konsumsi sumber makanan kaya kalsium atau terfortifikasi kalsium atau melalui tube feeding
·      Suplementasi kalsium
·      Penggunaan calcium-containing phosporus binders untuk mengatasi hiperphospatemia
·      Suplementasi vitamin D

e.    Vitamin D
Bukti klinis menyatakan tingginya angka prevalensi defisiensi vitamin D pada anak dengan CKD. Faktor yang mempengaruhinya antara lain:
·      Sedentary lifestyle dengan rendahnya frekuensi terpapar sinar matahari
·      Pencernaan makanan kaya vitamin D yang terbatas
·      Penurunan sintesis vitamin D3 endogen di kulit karena uremia
·      Kehilangan 25(OH)D dan vitamin D binding protein melalui urin
Rekomendasi :
·      Ukur kadar 25-hydroxyvitamin D serum sekali setahun
·      Suplementasi vitamin D2 (ergocalciferol) atau vitamin D3 (cholecalciferol) bila kadar 25-hydroxyvitamin D serum <30 ng/mL (75 nmol/L)

f.     Fosfor

Bukti menunjukkan bahwa pembatasan diet fosfat moderat bermanfaat terhadap pencegahan dan pengobatan hiperparatiroidisme dan aman terhadap pertumbuhan, dan mineralisasi tulang. Diet yang diberikan harus bertujuan untuk meminimalkan asupan fosfat sambil memastikan asupan protein yang cukup.
Gambar 3.2 Nilai normal Serum Fosfor, RDA Fosfor, Kisaran Target PTH

Rekomendasi :
·      Pertimbangkan mengurangi asupan fosfor hingga 100% DRI menurut umur, ketika:
o   konsentrasi PTH serum berada di atas kisaran target untuk tahap CKD, dan
o   konsentrasi serum fosfor berada dalam kisaran normal untuk usia referensi
·      Pertimbangkan mengurangi asupan fosfor hingga 80% DRI menurut umur, ketika:
o   konsentrasi PTH serum berada di atas kisaran target untuk tahap CKD, dan
o   konsentrasi serum fosfor melebihi kisaran referensi normal untuk usia
·      Setelah inisiasi pembatasan fosfor diet, memantau konsentrasi serum fosfor
setidaknya setiap 3 bulan pada anak dengan tahap CKD 3 sampai 4
bulanan pada anak dengan tahap CKD stage 5 dan stage 5 dengan dialisis
·      Dalam semua tahap CKD, disarankan untuk menghindari konsentrasi serum fosfor baik di atas dan bawah kisaran normal referensi untuk usia

g.    Natrium
·      Pertimbangkan tambahan suplemen bebas air dan natrium untuk anak-anak dengan CKD dan poliuria untuk menghindari penipisan intravaskular kronis dan untuk mendorong pertumbuhan yang optimal
o   Bayi dan anak-anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal mengalami poliuria, polydypsia, retensi garam, sehingga membutuhkan suplementasi garam
·      Pertimbangkan suplemen natrium untuk semua bayi dengan terapi PD
o   Anak-anak dengan terapi PD cenderung untuk kehilangan natrium substansial, bahkan ketika anuric,  karena ultrafiltrasi menghilangkan sejumlah besar natrium klorida yang tidak dapat  diganti melalui ASI atau standar susu formula bayi.
·      Batasi asupan natrium untuk anak-anak dengan CKD yang memiliki hipertensi (sistolik dan / atau diastolik tekanan darah ≥ persentil ke-95) atau prehipertensi (sistolik dan / atau tekanan darah distolic ≥ 90 percentile dan persentil <95)
o   Hipertensi berat meningkatkan risiko ensefalopati hipertensi, kejang,
serebrovaskular kejadian, gagal jantung kongestif, dan perkembangan CKD
o   Pembatasan natrium dari diet telah terbukti mengurangi tekanan darah pada hipertensi anak tanpa CKD
o   Pada pasien dialisis, membatasi asupan natrium sangat penting untuk mengontrol volume dan tekanan darah.

Tips untuk mengurangi asupan natrium :
·      Mengkonsumsi makanan segar daripada makanan olahan atau makanan kalengan
·      Membaca label pada kemasan makanan untuk mengidentifikasi dan memilih makanan dengan kandungan natrium tidak lebih dari 170-280 mg, atau 6%-10% sodium DV (daily value)
·      Mengurangi penambahan garam pada makanan dan  selama pengolahan, mengganti dengan rempah dan bumbu untuk menambah rasa masakan
·      Meminimalkan konsumsi makanan cepat saji

h.    Cairan
Pembatasan asupan cairan pada anak dengan CKD stage 3-5 dan dialisis yang mengalami oligoanuria bertujuan untuk mencegah fluid overload. Pembatasan cairan bersama natrium diperlukan untuk mengatasi rasa haus.

i.      Kalium
Batasi asupan kalium untuk anak-anak dengan CKD yang memiliki atau beresiko hiperkalemia. Asupan kalium dapat dikurangi dengan membatasi makanan tinggi kalium seperti pisang, jeruk, kentang, keripik kentang, produk olahan tomat, kacang-kacangan, yogurt, dan coklat, serta dengan menghindari garam pengganti yang mengandung kalium. Anak dengan terapi PD atau hemodialisis jarang membutuhkan pembatasan asupan kalium karena dapat menyebabkan hipokalemia.
Faktor non-diet penyebab hiperkalemia :
·      Hemolisis
·      Asidosis metabolik
·      Konstipasi
·      Pengobatan (ACE Inhibitor, NSAID, ARB, dan potassium-sparing diuretics)
·      Destruksi jaringan karena katabolisme, infeksi, pembedahan, atau kemoterapi
·      Inadequate dialysis


1.4.  INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN
1.4.1.    Furosemid
Indikasi
Edema yang disebabkan penyakit jantung, gagal ginjal akut.
Cara Kerja
Furosemide merupakan senyawa diuretik dengan senyawa saluretik yang kuat. Efeknya terutama menghambat reabsorbsi ion Na oleh sel pars asenden angsa Henle. Selain efeknya sebagai penghambat  transpor ion Na, Furosemide   menurunkan resistensi vaskuler  intra renal dan menaikkan aliran darah ginjal.
Efek Samping
Dapat terjadi setelahpemakaian jangka lama dan dosis tinggi berupa muntah anoreksia, diare, azotemia, hiperglikemia. Tiiperurikemia. Gangguan hematologi berupa trombositopenia, anemia, arganulositosis Reaksi pada kulit berupa urtikaria, eritema multiformis.
Interaksi dengan Makanan
Konsentrasi furosemid menurun dengan adanya makanan. Hindari dong quai, efedra, yohimbe, ginseng (memperparah hipotensi), bawang putih (dapat meningkatkan efek hipertensi), batasi penggunaan licorice.

1.4.2.    Urdafalk
Indikasi
Hepatitis kolestatis, hepatitis aktif kronis (sirosis empedu primer, kolangitis sklerosis primer). Batu kandung empedu kolesterol radiolusent yang diameternya tidak melebihi 20 mm.
Cara Kerja
Mengubah "precipitate" kolesterol menjadi kolesterol yang mudah larut sehingga mengalami disolusi (mencair) dengan jalan merangsang pembentukan lapisan cair lecithin kolesterol (a lecithin cholesterol liquid layer) pada permukaan batu.
Penekanan terhadap asam-asam empedu endogen yang merangsang hepatotoksisitas (efek langsung), efek sitoprotektif langsung terhadap sel-sel hepatosit dan modifikasi dari sistem imun.
Efek Samping
Jarang : diare, gatal-gatal, ruam kulit, urtikaria (biduran/kaligata), kulit kering, keringat dingin, rambut rontok, mual, muntah, gangguan pencernaan, rasa pengecapan seperti logam, nyeri perut, kolesistitis, susah buang air besar, stomatitis (radang rongga mulut), kembung, pusing, kelelahan, kecemasan, depresi, gangguan tidur, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri pada punggung, batuk, rinitis.
Interaksi dengan Makanan
Diberikan bersama susu atau makanan.

1.4.3.    Colistin
Indikasi
Untuk pengobatan diare yang disebabkan oleh bakteri gram negatif yang sensitif terhadap obat, misalnya E.coli.
Cara Kerja
Bakterisid dengan bakteriostatik yang bekerja di saluran pencernaan
Efek Samping
Colistin sulphate tidak memiliki efek samping dan umumnya dipakai untuk mengobati infeksi enterik yang disebabkan organisme gram negatif
Interaksi dengan Makanan
Dikonsumsi bersamaan atau tidak dengan makanan.

1.4.4.    Fluimucil
Indikasi
Gangguan saluran pernapasan dengan sekresi mukus yang berlebihan termasuk bronkhitis, emfisema dan bronkhiektasis, pencegahan & pengobatan komplikasi bronkopulmoner dengan mukostasis, katar (radang selaput lendir dengan pengeluaran getah radang) pada bronkhial. Dan sebagai anti radikal bebas atau anti oksidan.
Cara Kerja
Termasuk golongan N-acetylcysteine, adalah derivat asam amino alamiah cysteine. NAC mempunyai aktivitas fluidifikasi melalui gugus sulfhidril bebas pada sekret mukoid atau mukopurulen dengan cara memutus jembatan disulfida intra molekul dan intermolekul dalam agregat glikoprotein. NAC mempunyai toleransi intestinal yang baik, cepat diabsorpsi sesudah pemberian oral dan didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk paru.



Efek Samping
Bronkhospasme, gangguan saluran pencernaan, stomatitis, ingusan, sakit kepala, telinga berdenging tanpa rangsang dari luar, biduran/kaligata, demam, menggigil, batuk darah. Jarang : reaksi anafilaktik.
Interaksi dengan Makanan
-

1.4.5.    Kalk (Suplemen Kalsium)
Indikasi
Defisiensi kalsium 
Efek Samping
Hiperkalsemia dapat menimbulkan gejala-gejala berupa anoreksia, malas, nyeri otot dan sendi,mual,muntah,haus,polyuria dan aritmia jantung.


1.1.  Pengaturan Asupan Protein dan Energi terkait CKD dan Gizi Buruk
Menurut Mahan (2008), pembatasan protein pada anak dengan gagal ginjal kronis masih menjadi kontroversi. Jumlah protein sesuai kebutuhan menurut usia adalah yang direkomendasikan sebagai jumlah minimal yang diberikan.
Kebutuhan energi dan protein untuk anak dengan CKD minimal sama dengan jumlah yang direkomendasikan untuk anak normal dengan usia dan tinggi yang sama. Bila status gizi buruk, maka energi diberikan lebih tinggi untuk mendukung penambahan berat badan dan pertumbuhan linier. (Mahan, 2008)
Recommended Daily Intake (RDA) untuk anak usia 12 tahun adalah 1-1,5 g/kg BB. Maka untuk pasien An.R diberikan batas atas RDA 1,5 g/kg protein per hari, mengingat status gizinya masih gizi buruk.
Energi diberikan bertahap dimulai dari kecukupannya berdasarkan usia tinggi badan dengan berat badan aktualnya untuk menghindari refeeding syndrome. Target pemenuhan intake dinaikkan seiring dengan kenaikan berat badan dan daya terima pasien hingga mencapai kebutuhan optimal untuk anak normal dengan usia dan tinggi yang sama.
1.2.  Penanganan Anemia Normokromik Normositik
Anemia normokromik normositer yang terjadi pada pasien CKD disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal dalam memproduksi eritropoetin, hormon yang menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah.
Secara medis, kondisi anemia normokromik normositer diatasi dengan pemberian human eritropoietin, atau disebut terapi eritropoietin rekombinan.Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGK dapat mempertahankan kadar hemoglobin tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan gizi yang baik, suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium.
1.3.  Pengaturan Masukan Cairan
Pengaturan cairan dimaksudkan untuk mencegah perpindahan cairan dari plasma ke intersisiel sehingga terjadi edema atau ascites. Penghitungan cairannya menurut rekomendasi Halliday dan Segar adalah sebagai berikut :
Tabel 5.1 Kebutuhan Cairan Menurut Berat Badan
Berat Badan
Kebutuhan Cairan
≤ 10 kg
100 ml/kg
10 – 20 kg
1000 + 50 ml/kg di atas 10 kg
20 – 70 kg
1500 + 20 ml/kg di atas 20 kg
1.4.  Pengaturan Asupan Natrium
Menurut Wardhani (2009) dan Noer (2005), penatalaksanaan hipertensi di antaranya adalah dengan pemberian diet rendah garam. Namun demikian, dengan adanya pengobatan secara farmakologis maka diet rendah garam perlu ditinjau kembali karena pasien juga harus dihindarkan dari kondisi hipotensi. Hiponatremia sangatlah berbahaya. Meskipun sebagian besar pasien dengan hiponatremia
memiliki kadar sodium pada level 125-135 mEq/L dan asimptomatik, hiponatremia yang berat dapat menyebabkan pergerakan cairan akibat perubahan tekanan osmotik dari plasma ke dalam sel-sel otak, yang akan menyebabkan mual, muntah, sakit kepala dan rasa lemah. Hiponatremia yang memburuk akan menyebabkan kebingungan, refleks yang menurun, kejang bahkan koma. Hiponatremia yang berat dapat menyebabkan pergerakan cairan akibat perubahan tekanan osmotik dari plasma ke dalam sel-sel otak, yang akan menyebabkan mual, muntah, sakit kepala dan rasa lemah. Hiponatremia yang memburuk akan menyebabkan kebingungan, refleks yang menurun, kejang bahkan koma. (Halfian, 2009)
Maka garam 1000-1200 mg Na atau penambahan 1 sdt (4 g) garam dapur pada pengolahan masih dapat diberikan dengan selalu monitor tekanan darah.




DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hull, David dan Derek I. Johnston. 2008. Dasar-Dasar Pediatri ed.3. Editor edisi Bahasa Indonesia Daulika Yusna dan Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC
KDOQI-NKF. 2008. Clinical Practices Guidelines for Nutrition in Children with CKD: 2008 Update.
Longo, dkk. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Edition. United States of America: The McGraw Hill Companies, Inc
Mahan, L.Kathleen, dkk. 2008. Krause’s food and Nutrition Therapy International Edition. United States of America: Saunders Elvesier
Nelson, Waldo E, dkk. 2000. Nelson Textbook of Pediatrics 15th ed. Editor Bahasa Indonesia oleh A.Samik Wahab. Jakarta: EGC
Ningsih, U., dkk. 2007. Hubungan Motivasi dan Status Gizi Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa Rutin di RS PKU Muhammadiyah, Yogyakarta.
Noer, Mohammad Sjaifullah. Gagal Ginjal Kronik pada Anak. Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr.Soetomo Surabaya
Ratna, Etika. 2005. Gambaran status Gizi Penderita Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis (Studi pada Sembilan Kasus Penderita Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RS Panti Wilasa Citarum Semarang). Artikel Penelitian Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Ulya, Imroatul dan Suryanto. 2007. Perbedaan Kadar Hb Pra dan Post Hemodialisa pada Penderita Gagal Ginjal Kronis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Mutiara Medika Edisi Khusus Vol. 7 No.1: 29 - 33, April 2007
Wardani, Ayu Runi. 2009 . Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Kategori Reaksi Obat yang Merugikan dan Obat Salah pada Pasien Hipertensi Primer di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Wonogiri Tahun 2007. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Yap, Hui-Kim. 2007. Chronic Kidney Disease: The ABC of Nephrology. March Editorial Vol. 36 No.3 pg.161-164. Department of Paediatrics, Yong Loo Lin School of Medicine, National University of Singapore
INFORMASI OBAT :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17097/4/Chapter%20II.pdf