1.1. CHRONIC
KIDNEY DISEASE
1.1.1. Pengertian
Gagal ginjal kronis merupakan suatu keadaan klinis kerusakan
ginjal yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah
(Wilson L, 1995; Harnawatiaj, 2008). Gagal ginjal kronis terjadi setelah
berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal.
Menurut Yap (2007), Chronic Kidney
Disease merupakan spektrum proses
patofisiologis yang berhubungan dengan abnormalnya fungsi ginjal dan penurunan Glomerular Filtration
Rate (GFR) atau Laju Filtrasi Glomerular (LFG) secara progresif. Perkembangan gagal ginjal dapat mendatangkan komplikasi
seperti anemia, osteodistrofi ginjal dan kegagalan pertumbuhan. Seorang pasien dikatakan
menderita CKD jika terdapat
salah satu dari
kriteria berikut
(Yap, 2007):
1. Kerusakan
ginjal selama 3 bulan karena kelainan struktural atau
fungsional ginjal dengan atau tanpa
GFR menurun, dimanifestasikan oleh 1 atau lebih hal berikut:
a. Kelainan pada komposisi darah atau urine
a. Kelainan pada komposisi darah atau urine
b. Kelainan pada imaging test
c. Kelainan pada biopsi ginjal
2.
GFR <60 mL/min/1.73 m2
selama 3 bulan dengan atau tanpa tanda-tanda
kerusakan ginjal lainnya.
1.1.2. Etiologi
Etiologi gagal ginjal kronis pada masa kanak-kanak
berkorelasi dengan umur penderita pada saat pertama kalinya gagal ginjal
tersebut terdeteksi. Gagal ginjal kronis pada anak di bawah usia 5 tahun
biasanya akibat kelainan anatomis (hipoplasia, dysplasia, obstruksi,
malformasi), sedangkan setelah usia 5 tahun yang dominan adalah penyakit
glomerulus didapat (glomerulonefritis, sindrom hemolitik-uremik) atau gangguan
herediter (sindrom Alport, penyakit kistik). (Kliegman, 2007)
Selain itu juga dapat disebabkan oleh gangguan metabolisme
yang akhirnya mengakibatkan gagal ginjal (cystinosis atau methylmalonic
aciduria), atau kondisi dapatan dan penyakit (infeksi ginjal tidak diobati,
fisik trauma ginjal, paparan nefrotoksik kimia/obat, anemia hemolitik, sering
karena E. coli 0157, atau nefritis glomerulus). (Krause Textbook, 2008)
1.1.3. Klasifikasi
Gagal ginjal kronis diklasifikasikan menurut pedoman dari
National Kidney Foundation [Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(KDOQI)]. Pengklasifikasian ini dideskripsikan berdasarkan estimasi GFR.
Tabel
3.1 Klasifikasi Stadium Penyakit Ginjal Kronis (KDOQI, 2001)
Stadium
|
Deskripsi
|
GFR*
|
1
|
Kerusakan ginjal
|
>90
|
2
|
Penurunan fungsi ginjal ringan
|
60 - 89
|
3
|
Penurunan fungsi ginjal sedang
|
30 – 59
|
4
|
Penurunan fungsi ginjal berat
|
15 – 29
|
5
|
Gagal ginjal
|
< 15**
|
* Glomerulus Filtration Rate =
Laju Filtrasi Glomerular/LFG (ml/menit/1,73 m2)
** Terapi pengganti (dialisis,
transplantasi ginjal
|
1.1.4. Patofisiologi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia (2006) patofisiologi penyakit ginjal kronis pada awalnya tergantung
pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokinin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis
renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka
panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal juga yang
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronis
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstitial.

Gambar
3.1 Mekanisme Progresi Kerusakan Ginjal
Ada enam mekanisme yang diduga menyatukan ini jalur akhir
yang umum (Gambar 3.1). Jika cedera dimulai pada glomeruli, langkah-langkah
berurutan: (1) Cedera glomerulus persistent menghasilkan hipertensi lokal di
jumbai kapiler, meningkatkan GFR nefron-tunggal, dan menyebabkan kebocoran
protein ke dalam cairan tubulus. (2) Proteinuria glomerular yang signifikan,
disertai dengan peningkatan produksi angiotensin II lokal, memfasilitasi (3) Sitokain
terakumulasi di interstisial. (4) Tampilan awal neutrofil interstisial dengan
cepat digantikan oleh makrofag dan limfosit T yang terkumpul membentuk respon
imun nephritogenic sehingga terjadi nefritis interstisial. (5) Beberapa epitel
tubular menanggapi peradangan ini dengan disaggregating membran basal, epitel-mesenchymal
bertransisi membentuk fibroblas interstisial baru. (6) Akhirnya, fibroblas berupa
matriks kolagen mengganggu kapiler yang berdekatan dan nefron tubular, akhirnya
meninggalkan bekas luka acellular. (Harrison Textbook,
2008)
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronis,
terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal
LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti,
akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 %
pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai
terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Sampai pada
LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium.
Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikataan sampai pada stadium gagal ginjal.
1.1.5. Manifestasi
Klinis
Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada pasien yang
mengalami gagal ginjal kronis menurut Suparman (1990) terdiri atas :
a. Hematologik
Anemia
normokrom, gangguan fungsi trombosit, trombositopenia, gangguan lekosit.
b. Gastrointestinal
1) Anoreksia,
nausea, dan vomitus, yang berhubungan dengan uremia (gejala akibat tertimbunnya
zat-zat toksik dalam tubuh).
2) Faktor
uremia disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri
dimulut menjadi amonia sehingga napas berbau ammonia. Akibat yang lain adalah
timbulnya stomatitis dan parotitis.
3) Gastritis erosif, Ulkus peptikum, dan colitis uremik.
c. Syaraf dan otot
1) Miopati
2)
Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot ekstrimitas
proksimal.
3) Ensefalopati metabolik
Lemah, tidak biasa tidur, gangguan konsentrasi, tremor,
asteriksis, mioklonus, kejang
4) Burning feet syndrome
Rasa semutan dan seperti terbakar,
terutama ditelapak kaki.
5) Restless leg syndrome
Pasien merasa pegal pada kakinya
sehingga selalu digerakkan.
d.
Kulit
1)
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan
urokrom. Gatal-gatal dengan eksoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan
kalsium dipori-pori kulit.
2) Echymosis akibat gangguan hematologis.
3) Urea frost, akibat
kristalisasi urea yang ada pada keringat.
4) Bekas garukan karena gatal.
e. Kardiovaskuler
1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau akibat
peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensi-aldosteron.
2) Nyeri dada dan sesak nafas, akibat perikarditis, efusi
perikardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini,
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
3)
Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit
dan kalsifikasi metastastatik.
4) Edema akibat penimbunan cairan.
f. Endokrin
Gangguan toleransi glukosa, gangguan metabolisme lemak,
gangguan seksual, libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki,
gangguan metabolisme vitamin D.
g. Gangguan Sistem Lain
1) Tulang : Osteodistrofi renal, yaitu osteomalasia, osteitis
fibrosa, osteosklerosis, dan kalsifikasi metastatik.
2) Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organik sebagai
hasil metabolisme.
3) Elektrolit : hiperfosfatermia, hiperkalemia, hipokalsemia.
h. Pertumbuhan pada anak dengan CKD biasanya terhambat.
Pertumbuhan merupakan indikator yang
paing sensitif untuk terapi GGK yang adekuat. Pengukuran tinggi badan, berat
badan, lingkar kepala, status pubertal, volume testes, dan lingkar lengan atas
sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat dideteksi
secara dini setiap gangguan kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor yang
menyebabkan gangguan pertumbuhan adalah multifaktorial, seperti tercantum dalam
tabel dibawah ini. (Nelson Textbook, 2000)
![]() |
Tabel 3.2 Faktor-Faktor Penyebab Pertumbuhan Terhambat pada CKD
Anemia pada Gagal Ginjal
Kronis
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena
produksi eritropoietin yang tidak adekuat.
Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara luas untuk
mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang
dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel
darah merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah
intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat. (Nelson Textbook,
2000)
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGK dapat mempertahankan
kadar hemoglobin tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara
pengaturan nutrisi yang baik, suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan
supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang tidak
mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat diberikan
eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua
kali seminggu, dosis dapat dinaikkan
sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl. (Nelson Textbook,
2000)
Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar
tercapai suplemen besi yang adekuat. Anak-anak dengan pra-GGK biasanya
mendapatkan suplemen besi peroral, sedangkan mereka yang telah dilakukan
dialisis biasanya memerlukan suplemen besi secara intravena. (Nelson Textbook,
2000)
Hipertensi pada CKD
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks,
penyakit ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah
lanjut, akibat retensi natrium dan air. Pengendalian tekanan darah pada GGK,
bukan saja untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah
progresivitas penurunan fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume
overload, sistolik dan diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih dari 90
persentil untuk umur, perlu diberikan terapi antihipertensi untuk prevensi
komplikasi hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila ada tanda-tanda circulatory
volume overload sebagai penyebab hipertensi, diberikan diuretik dari golongan
furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam. (Noer, 2005)
Tabel 3.3 Temuan Laboratorium (Harrison
Textbook, 2008)

a Hampir semua kelainan yang ada pada
daftar ini akan berubah dengan transplantasi ginjal yang sukses. Respon terhadap kelainan ini oleh hemodialisis atau terapi
dialisis peritoneal lebih bervariasi. (I) menunjukkan suatu kelainan yang biasanya membaik dengan
program optimal dan terapi dialisis terkait; (P) menunjukkan suatu kelainan yang
cenderung menetap atau bahkan mengalami
kemajuan, meskipun dengan program yang optimal, (D) menunjukkan kelainan
yang berkembang hanya setelah inisiasi dialisis terapi.
b Meningkat dengan
dialisis dan terapi eritropoietin.
Catatan: Lp (a), a. lipoprotein
1.2. PENANGANAN
MEDIS
1.2.1. Hemodialisis
Hemodialisis membutuhkan akses perrnanent ke aliran darah
melalui fistula yang diciptakan dengan operasi untuk menghubungkan arteri dan
vena.. Cairan dialisis yang berisi elektrolit mirip dengan komposisi normal
plasma. Limbah produk dan elektrolit bergerak secara difersi, ultrafiltrasi,
dan osmosis dari darah ke dalam dialisat kemudian dibuang. Hemodialisis
biasanya memerlukan waktu 3 sampai 5 jam tiga kali per minggu, tetapi terapi
baru dapat mengubah waktu yang diperlukan. Pasien dapat melakukan dialisis
setiap hari di rumah, biasanya prosesnya selama 1,5-2,5 jam, sedangkan beberapa pasien menerima dialisis nokturnal tiga kali
seminggu selama 8 jam. (Krause Textbook, 2008)
1.2.2. Dialisis
Peritoneal
Peritoneal dialisis (PD) memanfaatkan sifat semipermeabel
membran peritoneum. Kateter ditanam di perut melalui pembedahan ke dalam rongga
peritoneum. Cairan dialisat yang digunakan mengandung konsentrasi tinggi
dekstrosa yang secara difusi membawa
limbah produk dari darah melalui membran peritoneum.
Dialisis Peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Ada 2 teknik yang digunakan yaitu CAPD
(Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) dan CCPD (Continuous Cyclical
Peritoneal Dialysis).
Continuous Ambulatory Peritoneal Dyalisis (CAPD) mirip
dengan standar peritoneal dialisis, bedanya adalah cairan dialisat dibiarkan
dalam peritoneum dan dipertukarkan secara manual sehingga tidak memerlukan
mesin hemodialisa. Pergantian cairan dialisis dilakukan empat sampai lima kali
dalam 24 jam.Sedangkan dalam terapi CCPD, pertukaran dilakukan pada malam hari oleh
mesin yang melakukan pertukaran. Pada siang hari ini pasien mungkin menyimpan
cairan dialisat di rongga peritoneum untuk
waktu yang lama (disebut long dwell), bahkan mungkin sepanjang hari. (Krause
Textbook, 2008)
1.2.3. Transplantasi
Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan pengobatan yang lebih disukai
pada pasien dengan Gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi
ginjal jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal dari cadaver dan dari yang
memiliki ikatan keluarga sehingga hal
ini dapat menjadi penghambat dari pilihan pengobatan pada pasien GGK. (Ningsih dkk, 2007)
1.2.4. Pencegahan
dan Pengobatan Komplikasi
1)
Hipertensi à pembatasan
natrium dan cairan serta melalui ultrafiltrasi bila penderita sedang menjalani
hemodialisis.
2)
Hiperkalemia à pemberian
glukosa dan insulin intravena yang akan memasukkan K+ ke dalam sel dengan
pemberian kalsium glukonat 10% intravena dengan hati-hati.
3)
Anemia à diberikan
recombinant human erytropoeitin/EPO sebagai injeksi subkutan tiga kali
seminggu. Komplikasi pemberian EPO adalah hipertensi yang terjadi pada separuh
pasien, selain EPO tindakan lain untuk meminimalkan kehilangan darah adalah
memberikan vitamin dan transfusi darah.
4)
Pemberian obat secara hati-hati.
1.3. PENATALAKSANAAN
GIZI
1.3.1. Evaluasi
Pertumbuhan dan Status Gizi
Berikut ini adalah rekomendasi langkah yang dilakukan dalam
penatalaksanaan gizi untuk anak dengan CKD berdasarkan pedoman KDOQI (2008):
·
Evaluasi
status gizi dan pertumbuhan berbasis periode
·
Pertimbangkan
beberapa parameter status gizi dan pertumbuhan :
o
Dietary
asupan (dietary record repeated 24hr recall selama 3 hari)
o
PB/U
atau TB/U (percentile atau SDS)
Menggunakan
WHO Growth Standards untuk bayi baru lahir hingga 2 tahun
Menggunakan
CDC growth reference chart untuk usia > 2 tahun
o
Estimasi
berat kering dan BB/U (percentile atau SDS)
o
BMI
menurtut usia tinggi (percentile atau SDS)
o
Lingkar
kepala menurut usia (percentile atau SDS) hanya untuk usia ≤ 3 tahun
o
nPCR
pada remaja yang menerima hemodialisis
·
Berdasar
status gizi dan parameter pertumbuhan serta stadium CKD:
o
Lakukan
assessment minimal dua kali lebih sering dibanding terhadap anak sehat pada
usia yang sama
o
Evaluasi
lebih sering dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan:
Poliuria adanya keterlambatan pertumbuhan, pengurangan
atau IMT yang rendah, adanya komorbiditas yang mempengaruhi pertumbuhan atau
asupan gizi, perubahan terbaru dalam status medis atau asupan makanan

Tabel 3.4 Parameter untuk Assessment Gizi Anak dengan CKD stage 2-5 dan Dialisis
1.3.2. Penanganan
Kegagalan Pertumbuhan pada Anak dengan CKD
·
Identifikasi
dan tangani adanya defisiensi zat gizi dan gangguan metabolik pada anak dengan
CKD dan berperawakan pendek (SDS ≤ 1,88 atau TB/U < 3rd percentile).
Faktor-faktor yang berkontribusi pada lambatnya pertumbuhan :
o
Kurangnya
asupan kalori-protein
o
Poliuria
dan kondisi salt-wasting
o
Asidosis
metabolik
o
Renal
osteodystrophy
o
Resistance
to hormones medating growth
·
Koreksi
level bikarbonat serum minimal mendekati normal (22 mmol/L)
·
Pertimbangkan
terapi rhGH pada anak dengan :
o
Perawakan
pendek, dan
o
Berpotensi
mengalami gagal tumbuh persisten lebih dari 3 bulan, di samping penanganan
terhadap defisiensi zat gizi dan gangguan metabolik
1.3.3. Kebutuhan
Zat Gizi
a.
Energi
Kurang asupan energi sering terjadi pada
anak dengan CKD karena penurunan nafsu makan dan adanya muntah. Menurunnya
nafsu makan ini dapat disebabkan oleh rasa haus yang biasanya terjadi pada anak
dengan poliuria, efek medikasi, pemilihan makanan berasa asin daripada makanan
padat energi yang manis, akumulasi regulasi nafsu makan oleh pengaruh sitokain
dan hormon, gastroesophageal reflux, gangguan motilitas gaster, dan penundaan
pengosongan lambung. Sedangkan anak dengan asupan energi berlebih meningkatkan
resiko komplikasi dalam periode panjang maupun pendek, dihubungkan dengan
kemungkinan terjadinya overweight atau obesitas.
Rekomendasi :
·
Kebutuhan
energi 100% TEE berdasarkan usia kronologis, penambahan berdasarkan aktivitas
fisik dan ukuran tubuh (misalnya IMT)
·
Pertimbangkan
dukungan suplementasi saat:
o
Asupan
anak tidak memenuhi kebutuhan energi
o
Anak
tidak mengalami kenaikan berat badan
Tabel 3.5 Kisararan Distribusi
Makronutrien yang Disarankan

b.
Vitamin dan Trace Elements
Pasien CKD dengan terapi dialisis
beresiko mengalami defisiensi vitamin dan mineral sebagai akibat dari
metabolisme ginjal yang abnormal, kurangnya asupan/absorpsi gastrointestinal,
dan kehilangan karena dialisis.
Pertimbangkan kecukupan pemberian tiamin
(B1), ribovlavin (B2), niasin (B3), pantothenic acid (B5), pyridoxine (B6),
biotin (B8), kobalamin (B12), asam askorbat (C), retinol (A), alfa tokoferol
(E), vitamin K, asam folat, copper, dan zinc sesuai DRI (Dietary Reference Intake).
Disarankan untuk menyediakan suplementasi
vitamni dan trace element untuk anak CKD stage 2-5 bila asupan makanan saja
tidak memenuhi 100% DRI atau secara klinis terjadi defisiensi yang dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan kadarnya rendah dalam darah.
Pemberian suplementasi vitamni larut air
disarankan untuk anak CKD dengan dialisis, kecuali pada anak dengan nafsu makan
yang baik.

Tabel 3.6 Dietary Reference Intake: RDA dan AI
c.
Protein
Tanda terjadinya kurang asupan protein :
·
Kadar
serum urea nitrogen rendah (abnormal)
·
Kecenderungan
mengalami penurunan nPCR yang tidak diinginkan pada pasien remaja dengan terapi
hemodialisis
·
Dokumentasi
adanya rendahnya asupan protein menggunakan food record, food kuesioner, atau
diet recall
![]() |
Tabel 3.7 RDA Asupan Protein Anak dengan CKD Stage 3-5 dan Dialisis
d.
Kalsium
Kurangnya suplai kalsium dapat
mengakibatkan penurunan mineralisasi tulang. Sedangkan kelebihan kalsium
berhubungan dengan severe vascular morbidity dan kalsifikasi jaringan lunak.
Rekomendasi :
Total
asupan oral dan/atau enteral kalsium adalah 100%-200% DRI menurut umur. Untuk
menghindari akumulasi kalsium, perlu ada reduksi total pemberian kalsium baik
dari makanan oral/enteral atau phosphate binders bagi anak oligoanuria dengan
dialisis.
Tabel 3.8 Rekomendasi Asupan Kalsium
Anak CKD stage 2-5 dan Dialisis

Cara untuk meningkatkan asupan dan
absorpsi kalsium :
· Meningkatkan
konsumsi sumber makanan kaya kalsium atau terfortifikasi kalsium atau melalui
tube feeding
· Suplementasi
kalsium
· Penggunaan
calcium-containing phosporus binders untuk mengatasi hiperphospatemia
· Suplementasi
vitamin D
e.
Vitamin D
Bukti klinis menyatakan tingginya angka
prevalensi defisiensi vitamin D pada anak dengan CKD. Faktor yang
mempengaruhinya antara lain:
· Sedentary
lifestyle dengan rendahnya frekuensi terpapar sinar matahari
· Pencernaan
makanan kaya vitamin D yang terbatas
· Penurunan
sintesis vitamin D3 endogen di kulit karena uremia
· Kehilangan
25(OH)D dan vitamin D binding protein melalui urin
Rekomendasi
:
· Ukur
kadar 25-hydroxyvitamin D serum sekali setahun
· Suplementasi
vitamin D2 (ergocalciferol) atau vitamin D3
(cholecalciferol) bila kadar 25-hydroxyvitamin D serum <30 ng/mL (75 nmol/L)
f.
Fosfor

Bukti menunjukkan bahwa pembatasan diet fosfat moderat bermanfaat terhadap pencegahan dan pengobatan hiperparatiroidisme dan aman terhadap pertumbuhan, dan mineralisasi tulang. Diet yang diberikan harus bertujuan untuk meminimalkan asupan fosfat sambil memastikan asupan protein yang cukup.
Gambar 3.2 Nilai normal Serum Fosfor,
RDA Fosfor, Kisaran Target PTH
Rekomendasi :
· Pertimbangkan
mengurangi asupan fosfor hingga 100% DRI menurut umur, ketika:
o
konsentrasi PTH serum berada di atas kisaran target untuk
tahap CKD, dan
o
konsentrasi serum fosfor berada dalam kisaran normal
untuk usia referensi
· Pertimbangkan
mengurangi asupan fosfor hingga 80% DRI menurut umur, ketika:
o
konsentrasi PTH serum berada di atas kisaran target untuk
tahap CKD, dan
o
konsentrasi serum fosfor melebihi kisaran referensi
normal untuk usia
· Setelah
inisiasi pembatasan fosfor diet, memantau konsentrasi serum fosfor
setidaknya setiap 3 bulan pada anak dengan tahap CKD 3 sampai 4
bulanan pada anak dengan tahap CKD stage 5 dan stage 5 dengan dialisis
setidaknya setiap 3 bulan pada anak dengan tahap CKD 3 sampai 4
bulanan pada anak dengan tahap CKD stage 5 dan stage 5 dengan dialisis
· Dalam
semua tahap CKD, disarankan untuk menghindari konsentrasi serum fosfor baik di
atas dan bawah kisaran normal referensi untuk usia
g.
Natrium
· Pertimbangkan
tambahan suplemen bebas air dan natrium untuk anak-anak dengan CKD dan poliuria
untuk menghindari penipisan intravaskular kronis dan untuk mendorong
pertumbuhan yang optimal
o
Bayi dan anak-anak dengan uropati obstruktif atau
displasia ginjal mengalami poliuria, polydypsia, retensi garam, sehingga membutuhkan
suplementasi garam
· Pertimbangkan
suplemen natrium untuk semua bayi dengan terapi PD
o
Anak-anak dengan terapi PD cenderung untuk kehilangan
natrium substansial, bahkan ketika anuric, karena ultrafiltrasi menghilangkan sejumlah
besar natrium klorida yang tidak dapat diganti melalui ASI atau standar
susu formula bayi.
· Batasi
asupan natrium untuk anak-anak dengan CKD yang memiliki hipertensi (sistolik
dan / atau diastolik tekanan darah ≥ persentil ke-95) atau prehipertensi (sistolik
dan / atau tekanan darah distolic ≥ 90 percentile dan persentil <95)
o
Hipertensi berat meningkatkan risiko ensefalopati
hipertensi, kejang,
serebrovaskular kejadian, gagal jantung kongestif, dan perkembangan CKD
serebrovaskular kejadian, gagal jantung kongestif, dan perkembangan CKD
o
Pembatasan natrium dari diet telah terbukti mengurangi
tekanan darah pada hipertensi anak tanpa CKD
o
Pada pasien dialisis, membatasi asupan natrium sangat
penting untuk mengontrol volume dan tekanan darah.
Tips
untuk mengurangi asupan natrium :
· Mengkonsumsi
makanan segar daripada makanan olahan atau makanan kalengan
· Membaca
label pada kemasan makanan untuk mengidentifikasi dan memilih makanan dengan
kandungan natrium tidak lebih dari 170-280 mg, atau 6%-10% sodium DV (daily
value)
· Mengurangi
penambahan garam pada makanan dan selama
pengolahan, mengganti dengan rempah dan bumbu untuk menambah rasa masakan
· Meminimalkan
konsumsi makanan cepat saji
h.
Cairan
Pembatasan asupan cairan pada anak
dengan CKD stage 3-5 dan dialisis yang mengalami oligoanuria bertujuan untuk
mencegah fluid overload. Pembatasan cairan bersama natrium diperlukan untuk
mengatasi rasa haus.
i.
Kalium
Batasi asupan kalium untuk anak-anak
dengan CKD yang memiliki atau beresiko hiperkalemia. Asupan kalium dapat
dikurangi dengan membatasi makanan tinggi kalium seperti pisang, jeruk,
kentang, keripik kentang, produk olahan tomat, kacang-kacangan, yogurt, dan
coklat, serta dengan menghindari garam pengganti yang mengandung kalium. Anak
dengan terapi PD atau hemodialisis jarang membutuhkan pembatasan asupan kalium
karena dapat menyebabkan hipokalemia.
Faktor non-diet penyebab hiperkalemia :
· Hemolisis
· Asidosis
metabolik
· Konstipasi
· Pengobatan
(ACE Inhibitor, NSAID, ARB, dan potassium-sparing diuretics)
· Destruksi
jaringan karena katabolisme, infeksi, pembedahan, atau kemoterapi
· Inadequate
dialysis
1.4. INTERAKSI
OBAT DAN MAKANAN
1.4.1. Furosemid
Indikasi
Edema
yang disebabkan penyakit jantung, gagal ginjal akut.
Cara
Kerja
Furosemide
merupakan senyawa diuretik dengan senyawa saluretik yang kuat. Efeknya terutama
menghambat reabsorbsi ion Na oleh sel pars asenden angsa Henle. Selain efeknya
sebagai penghambat transpor ion Na, Furosemide menurunkan
resistensi vaskuler intra renal dan menaikkan aliran darah ginjal.
Efek
Samping
Dapat
terjadi setelahpemakaian jangka lama dan dosis tinggi berupa muntah anoreksia,
diare, azotemia, hiperglikemia. Tiiperurikemia. Gangguan hematologi berupa
trombositopenia, anemia, arganulositosis Reaksi pada kulit berupa urtikaria,
eritema multiformis.
Interaksi
dengan Makanan
Konsentrasi
furosemid menurun dengan adanya makanan. Hindari dong quai, efedra, yohimbe,
ginseng (memperparah hipotensi), bawang putih (dapat meningkatkan efek
hipertensi), batasi penggunaan licorice.
1.4.2. Urdafalk
Indikasi
Hepatitis
kolestatis, hepatitis aktif kronis (sirosis empedu primer, kolangitis sklerosis
primer). Batu kandung empedu kolesterol radiolusent yang diameternya tidak
melebihi 20 mm.
Cara
Kerja
Mengubah
"precipitate" kolesterol menjadi kolesterol yang mudah larut sehingga
mengalami disolusi (mencair) dengan jalan merangsang pembentukan lapisan cair
lecithin kolesterol (a lecithin cholesterol liquid layer) pada permukaan batu.
Penekanan terhadap asam-asam empedu endogen yang merangsang hepatotoksisitas (efek langsung), efek sitoprotektif langsung terhadap sel-sel hepatosit dan modifikasi dari sistem imun.
Penekanan terhadap asam-asam empedu endogen yang merangsang hepatotoksisitas (efek langsung), efek sitoprotektif langsung terhadap sel-sel hepatosit dan modifikasi dari sistem imun.
Efek
Samping
Jarang
: diare, gatal-gatal, ruam kulit, urtikaria (biduran/kaligata), kulit kering,
keringat dingin, rambut rontok, mual, muntah, gangguan pencernaan, rasa
pengecapan seperti logam, nyeri perut, kolesistitis, susah buang air besar,
stomatitis (radang rongga mulut), kembung, pusing, kelelahan, kecemasan,
depresi, gangguan tidur, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri pada punggung, batuk,
rinitis.
Interaksi
dengan Makanan
Diberikan
bersama susu atau makanan.
1.4.3. Colistin
Indikasi
Untuk
pengobatan diare yang disebabkan oleh bakteri gram negatif yang sensitif
terhadap obat, misalnya E.coli.
Cara
Kerja
Bakterisid
dengan bakteriostatik yang bekerja di saluran pencernaan
Efek
Samping
Colistin
sulphate tidak memiliki efek samping dan umumnya dipakai untuk mengobati
infeksi enterik yang disebabkan organisme gram negatif
Interaksi dengan Makanan
Dikonsumsi
bersamaan atau tidak dengan makanan.
1.4.4. Fluimucil
Indikasi
Gangguan saluran pernapasan dengan
sekresi mukus yang berlebihan termasuk bronkhitis, emfisema dan bronkhiektasis,
pencegahan & pengobatan komplikasi bronkopulmoner dengan mukostasis, katar
(radang selaput lendir dengan pengeluaran getah radang) pada bronkhial. Dan
sebagai anti radikal bebas atau anti oksidan.
Cara
Kerja
Termasuk golongan N-acetylcysteine,
adalah derivat asam amino alamiah cysteine. NAC mempunyai aktivitas
fluidifikasi melalui gugus sulfhidril bebas pada sekret mukoid atau mukopurulen
dengan cara memutus jembatan disulfida intra molekul dan intermolekul dalam
agregat glikoprotein. NAC mempunyai toleransi intestinal yang baik, cepat
diabsorpsi sesudah pemberian oral dan didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk
paru.
Efek
Samping
Bronkhospasme, gangguan saluran
pencernaan, stomatitis, ingusan, sakit kepala, telinga berdenging tanpa
rangsang dari luar, biduran/kaligata, demam, menggigil, batuk darah. Jarang :
reaksi anafilaktik.
Interaksi dengan Makanan
-
1.4.5. Kalk
(Suplemen Kalsium)
Indikasi
Defisiensi kalsium
Efek Samping
Hiperkalsemia dapat menimbulkan
gejala-gejala berupa anoreksia, malas, nyeri otot dan sendi,mual,muntah,haus,polyuria
dan aritmia jantung.
1.1. Pengaturan
Asupan Protein dan Energi terkait CKD dan Gizi Buruk
Menurut Mahan (2008), pembatasan protein pada anak dengan
gagal ginjal kronis masih menjadi kontroversi. Jumlah protein sesuai kebutuhan
menurut usia adalah yang direkomendasikan sebagai jumlah minimal yang diberikan.
Kebutuhan energi dan protein untuk anak dengan CKD
minimal sama dengan jumlah yang direkomendasikan untuk anak normal dengan usia
dan tinggi yang sama. Bila status gizi buruk, maka energi diberikan lebih
tinggi untuk mendukung penambahan berat badan dan pertumbuhan linier. (Mahan,
2008)
Recommended Daily Intake (RDA) untuk anak usia 12 tahun
adalah 1-1,5 g/kg BB. Maka untuk pasien An.R diberikan batas atas RDA 1,5 g/kg
protein per hari, mengingat status gizinya masih gizi buruk.
Energi diberikan bertahap dimulai dari kecukupannya
berdasarkan usia tinggi badan dengan berat badan aktualnya untuk menghindari
refeeding syndrome. Target pemenuhan intake dinaikkan seiring dengan kenaikan
berat badan dan daya terima pasien hingga mencapai kebutuhan optimal untuk anak
normal dengan usia dan tinggi yang sama.
1.2. Penanganan
Anemia Normokromik Normositik
Anemia normokromik normositer yang terjadi pada pasien
CKD disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal dalam memproduksi eritropoetin,
hormon yang menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah.
Secara medis, kondisi anemia normokromik normositer
diatasi dengan pemberian human eritropoietin, atau disebut terapi eritropoietin
rekombinan.Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGK dapat mempertahankan kadar
hemoglobin tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara
pengaturan gizi yang baik, suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi
hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung
aluminium.
1.3. Pengaturan
Masukan Cairan
Pengaturan cairan dimaksudkan untuk mencegah perpindahan
cairan dari plasma ke intersisiel sehingga terjadi edema atau ascites.
Penghitungan cairannya menurut rekomendasi Halliday dan Segar adalah sebagai
berikut :
Tabel
5.1 Kebutuhan Cairan Menurut Berat Badan
Berat Badan
|
Kebutuhan Cairan
|
≤ 10 kg
|
100
ml/kg
|
10 – 20 kg
|
1000
+ 50 ml/kg di atas 10 kg
|
20 – 70 kg
|
1500
+ 20 ml/kg di atas 20 kg
|
1.4. Pengaturan
Asupan Natrium
Menurut
Wardhani (2009) dan Noer (2005), penatalaksanaan hipertensi di antaranya adalah
dengan pemberian diet rendah garam. Namun demikian, dengan adanya pengobatan
secara farmakologis maka diet rendah garam perlu ditinjau kembali karena pasien
juga harus dihindarkan dari kondisi hipotensi. Hiponatremia sangatlah
berbahaya. Meskipun sebagian besar pasien dengan hiponatremia
memiliki kadar sodium pada level 125-135 mEq/L
dan asimptomatik, hiponatremia yang berat dapat menyebabkan pergerakan cairan
akibat perubahan tekanan osmotik dari plasma ke dalam sel-sel otak, yang
akan menyebabkan mual, muntah, sakit kepala dan rasa
lemah. Hiponatremia yang memburuk akan menyebabkan kebingungan, refleks yang
menurun, kejang bahkan koma. Hiponatremia yang berat dapat menyebabkan
pergerakan cairan akibat perubahan tekanan osmotik dari plasma ke dalam sel-sel
otak, yang akan menyebabkan mual, muntah, sakit kepala dan rasa lemah. Hiponatremia
yang memburuk akan menyebabkan kebingungan, refleks yang menurun, kejang bahkan
koma. (Halfian, 2009)
Maka garam 1000-1200 mg Na atau penambahan 1 sdt (4 g)
garam dapur pada pengolahan masih dapat diberikan dengan selalu monitor tekanan
darah.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hull, David dan Derek I. Johnston.
2008. Dasar-Dasar Pediatri ed.3.
Editor edisi Bahasa Indonesia Daulika Yusna dan Huriawati Hartanto. Jakarta:
EGC
KDOQI-NKF.
2008. Clinical Practices Guidelines for
Nutrition in Children with CKD: 2008 Update.
Longo,
dkk. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th
Edition. United States of America: The McGraw Hill Companies, Inc
Mahan,
L.Kathleen, dkk. 2008. Krause’s food and
Nutrition Therapy International Edition. United States of America: Saunders
Elvesier
Nelson,
Waldo E, dkk. 2000. Nelson Textbook of Pediatrics 15th ed. Editor
Bahasa Indonesia oleh A.Samik Wahab. Jakarta: EGC
Ningsih, U., dkk. 2007. Hubungan Motivasi dan Status Gizi Pasien Gagal Ginjal Kronik yang
Menjalani Hemodialisa Rutin di RS PKU Muhammadiyah, Yogyakarta.
Noer, Mohammad Sjaifullah. Gagal Ginjal Kronik pada Anak. Divisi
Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr.Soetomo Surabaya
Ratna, Etika. 2005. Gambaran status Gizi Penderita Gagal Ginjal
Kronik dengan Hemodialisis (Studi pada Sembilan Kasus Penderita Gagal Ginjal
Kronik dengan Hemodialisis di RS Panti Wilasa Citarum Semarang). Artikel
Penelitian Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Ulya, Imroatul dan Suryanto. 2007. Perbedaan Kadar Hb Pra dan Post Hemodialisa
pada Penderita Gagal Ginjal Kronis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Mutiara Medika Edisi Khusus Vol. 7 No.1: 29 - 33, April 2007
Wardani, Ayu Runi.
2009 . Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Kategori
Reaksi Obat yang Merugikan dan Obat Salah pada Pasien Hipertensi Primer di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Wonogiri Tahun 2007. Skripsi
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Yap, Hui-Kim. 2007. Chronic Kidney Disease: The ABC of
Nephrology. March Editorial Vol. 36 No.3 pg.161-164. Department of
Paediatrics, Yong Loo Lin School of Medicine, National University of Singapore
INFORMASI OBAT :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17097/4/Chapter%20II.pdf